Rabu, 12 September 2012

Sejarah Pura Luhur Tanah Lot

Sumber PUSTAKA BALI POST

"PURA Luhur Tanah Lot"


Pura Luhur Tanah Lot terletak di Desa Braban, Kecamatan Kediri, Tabanan. Pura
ini merupakan Dang Kahyangan yang juga diyakini sebagai sumber kemakmuran
jagat.  Cikal bakal berdirinya pura ini sangat erat kaitannya dengan perjalanan
Danghyang Nirartha.  Orang suci yang juga bernama Danghyang Dwijendra itu
berkeliling di Pulau Bali pada tahun Icaka 1411 atau tahun 1489M.  Beliau datang
dari Blambangan pada abad ke-15.
Seperti dituturkan dalam kitab Dwijendra Tattwa, setelah berada di Pura Rambut
Siwi untuk beberapa lama, beliau yang juga dikenal dengan julukan Pedanda Sakti
Wawu Rawuh ini meneruskan perjalanan menuju arah timur seusai melakukan sembahyang
pagi, Surya Sewana (memuja Dewa Surya).
Didalam perjalanan itu, beliau asyik menikmati keindahan alam, sehingga tidak
terasa, sore hari telah tiba dipantai selatan Pulau Bali ini.  Dipantai ini
terdapat sebuah pulau kecil yang berdiri diatas tanah parangan (tanah keras).
Disitulah Dangyang Nirartha beristirahat.  Tidak lama setelah beristirahat,
datanglah para nelayan dengan membawa berbagai makanan untuk dipersembahkan kepada
beliau.
Oleh karena hari sudah sore, para nelayan mohon agar beliau berkenan menginap di
pondok mereka.  Namun, permohonan itu ditolak karena beliau lebih senang bermalam
dipulau kecil itu.  Disamping karena udaranya yang segar, dari sana beliau dapat
melepaskan pandangannya kesegala arah.
Pada malam harinya, beliau memberikan wejangan agama, kebajikan dan susila kepada
masyarakat desa yang datang menghadap.  Kala itu beliau menasihati kepada masyarakat
desa untuk membangun parahyangan ditempat itu, karena menurut getaran batin beliau
serta adanya petunjuk gaib bahwa ditempat itu sangat baik dimanfaatkan sebagai
tempat memuja Hyang Widhi.  Setelah Dangyang Nirartha meninggalkan tempat itu
dibangunlah sebuah bangunan suci yang kini dikneal dengan Pura Luhur Tanah Lot.
Dari beberapa catatan dikisahkan pula, sebelum melanjutkan perjalanan beliau
melakukan meditasi ditempat itu.  Saat melakukan persembahyangan, ikat pinggang
beliau terlepas dan berubah menjadi ular.  Sampai sekarang ular berbentuk
poleng hitam putih itu, tidur di lubang-lubang karang dan bisa dilihat dan diraba,
asal penuh dengan kasih sayang, tanpa mengganggu tidur mereka.
Dipura ini terdapat beberapa palinggih yakni palinggih Ageng Siwa Budha yang
beratap tumpang 5, letaknya ditengah pura sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa. Juga
terdapat palinggih Pedanda Sakti Wawu Rawuh, merupakan palinggih atap 3 yang
dilengkapi dengan arca beliau.  Palingih Batara Sri merupakan palinggih yang
terletak hampir dibelakang palinggih ageng yang arahnya menghadap ke laut.  Selain
itu juga terdapat palinggih Lingga Yoni persis dibelakang palinggih ageng yang
berdampingan dengan palinggih Dewi Sri.
Seperti kebanyakan pura lainnya di Bali, pujawali dipura ini jatuh setiap 210 hari
tepatnya Buda Wage Langkir atau 14hari setelah hari raya Galungan, sesuai dengan
perhitungan kalender Bali.  Selain untuk memohon kesucian ataupun kesembuhan
melalui toya beji, dipura ini, para pemedek biasanya memohon kemakmuran atau doa
untuk keberhasilan suatu usaha.

Pura disekitarnya
Sejumlah pura yang ada disekitar Pura Tanah Lot adalah Pura Pekendungan, Pura
Penataran, Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong dan Pura Batu
Mejan.  Pura Pekendungan merupakan satu kesatuan dengan Pura Tanah Lot. Pada
mulanya tempat ini bernama Alas Kendung, digunakan sebagai tempat meditasi atau
yoga semadi, untuk mendapatkan sinar suci sebelum melanjutkan perjalanan.
Di Pura Pekendungan terdapat keris sakti bernama Ki Baru Gajah yang memiliki
kekuatan untuk menaklukkan penyakit tumbuh-tumbuhan di Bali.  Keris ini merupakan
anugerah Danghyang nirartha kepada pemimpin Desa Beraban.  Keris itu kini disimpan
di Puri Kediri.  Saat piodalan, Sabtu Kliwon Wara Kuningan, keris ini dipendak
serangkaian piodalan.
Sedangkan Pura Jero Kandang merupakan pura yang dibangun oleh masyarakat Beraban
dengan tujuan untuk memohon perlindungan bagi ternak dan tumbuhan mereka dari
ganguan berbagai penyakit.
Akan halnya Pura Enjung Galuh berlokasi dekat denga Pura Jero Kandang.  Menurut
beberapa catatan, pura ini dibangun untuk memuja Dewi Sri yang merupakan sakti
dari Dewa Wisnu yang piodalannya setiap Rabu Umanis Wara Medangsia.  Dipura ini
masyarakat memohon kesuburan jagat.
Sementara itu, Pura Batu Bolong merupakan tempat melakukan pamelastian maupun
pakelem dengan maksud menyucikan alam. Sedangkan Pura Batu Mejan atau dikenal
dengan beji merupakan tempat untuk mendapatkan tirtha penglukatan.

Stana Hyang Sadhana Tra
Khusus untuk Pura Luhur Pekendungan merupakan salah satu pura yang terdapat
dikawasan wisata Tanah Lot, Desa Braban, Kediri, Tabanan.  Pura ini merupakan
tempat suci yang usianya telah terbilang tua dan merupakan stana Hyang Sadhana
Tra.  Dalam Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul (Pura Luhur Pekendungan) disebutkan,
pura ini dibangun pada Isaka Warsa 1330 tahun 1408 Masehi.
Dalam purana itu disebutkan pula bahwa pura ini patut disungsung oleh seluruh
umat Hindu di Bali, termasuk pucuk pemerintahan.  Sebab, dalam sejarah pendiriannya,
pura ini dibangun sebagai penjaga wilayah agar selamat, negara makmur, pemerintahan
stabil dan kehidupan penduduk yang tenang.  Singkatnya untuk menjaga ajegnya
negeri.
Dalam Purana Bangsul dituturkan, pendirian pura ini berkaitan erat dengan
perjalanan Sri Maha Raja Dalem Anom Sukaranti yang diiringi oleh patihnya Ki
Demang Copong, yang berasal dari negara Konca Cina.
Setelah berada di Bali, diberi anugerah berupa tempat tinggal termasuk pasukan
dan hulubalangnya semua.  Pada saat itulah beliau membangun sejumlah pura pemujaan
diberbagai tempat di Bali seperti Parhyangan Candi Purusada yang dibangun sebagai
stana Batara Guru yang merupakan penyangga stabilitas Bali pertama. Setelah
membangun Pura Dasar Gelgel, Dalem Anom Sukaranti pergi kearah timur membangun
Pura Goa Lawah.  Setelah itu pergi ke arah barat laut dan membangun Kahyangan
Nagaloka.  Dalam perjalanan beliau menuju arah barat, dipantai Jembarana dibangunlah
kahyangan Kapurancak, sebagai stana dewa yang berstana didasar bumi.  Setelah itu
Dalem Anom Sukaranti pergi ke timur, diiringi oleh patih Demang Copong dan segenap
hulubalangnya, tiba dipuncak Gunung Watukaru.  Disana juga beliau membangun kahyangan
yang diberi nama Pucak Kadaton.  Kahyangan tersebut dijadikan stana Batara Hyang
Jaya Netra.  Disanalah Dalem Anom Sukaranti beryoga semadi.  Dalam yoganya beliau
mendengar suara diangkasa yang isinya agar segera pergi keselatan, menuju tepi
laut yang bernama Let (Tanah Lot).
Setelah sampai ditepi laut perbukitan Let, Dalem Anom Sukaranti segera membahas
perihal rencana perabasan hutan, Saat itu kembali terdengar sabda dari angkasa yang
menyatakan agar mereka segera menemukan batu rata seperti tikar.  Setelah ditemui
batu yang dimaksud beliau segera melakukan yoga dan terdengarlah sabda yang kalau
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia seperti ini:"Wahai anakku, Hyang Sadhana Tra
gelarku.  Jangan sekarang engkau membangun kahyangan, sebab belum waktunya.  Kelak
ditempat ini kahyangan itu dibangun, sekarang kembalilah engkau semua kenegara
Jong Karem."
Pada waktu pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir yang beristana di Gelgel, beliau
memerintahkan Ki Kaki Twa untuk membangun parahyangan ditepi laut perbukitan
Let.  Setelah Ki Kaki Twa memperoleh ciri-ciri tempat yang dimaksud, ia segera
merabas hutan untuk membangun pemujaan Penyiwian Jagat, sebagai hulunya orang desa.
Pura tersebut dinamakan Pura Pekendungan.  Ketiak ia merabas hutan dikawasan itu,
ditemukan batu rata seperti tikar, dinaungi oleh pohon kendung.  Dititahkan bahwa
beliau yang bergelar Hyang Sadhana Tra berkenan distanakan dipura itu, sampai
kelak kemudian hari, sebagai penjaga wilayah agar selamat dan negara makmur.
Dinyatakan agar pura itu menjadi pusat perhatian pucuk pemerintahan, sebagai
stana Hyang Lohana yang menjaga kehidupan penduduk.
Dikisahkan, untuk mendirikan pura, banyak penduduk dipinggir Kerajaan Mengwi
seperti Munggu, Seseh, Cemagi, Braban, Watugaing, Bwit Kalakahan, Pandak
bergotong royong merabas hutan lebat.  Setelah lama merabas hutan terlihatlah
batu rata berwarna putih.  Bentuknya persegi, indah dan suci.  Disampingnya
ada pohon kendung tinggi besar.  Saat pohon itu akan ditebang terdengarlah sabda
yang memberikan petunjuk.  Bahwa ditempat itu patut didirikan dharma parhyangan,
sebagai panyiwian jagat, sebagai hulunya penduduk desa sewilayah kerajaan Bali.
"Jangan alpa dari sekarang sampai kelak, seketurunanmu patut ikuti nyiwi, kalau
ingin negaramu ajeg, demikian pula sang Raja," demikian titah itu.
Setelah pura selesai dibangun, dilangsungkanlah upacara pada hari Sabtu Kliwon,
Kuningan sampai Wuku Merakih, sasih Kelima, Isaka warsa 1330 tahun 1408Masehi.
Menurut PUrana yang telah disosialisasikan ke masyarakat di Kediri baru-baru ini,
pura ini wajib disungsung oleh semua orang Bali.  Untuk kemakmuran negeri seluruh
rakyat Bali hendaknya tidak alpa melakukan pemujaan di pura ini.

Sebagai Yoni
Keberadaan Pura Tanah Lot sebagai Pura Segara juga ada hubungannya dengan Pura
Luhur Batukaru sebagai Pura Puncak.  Pura Tanah Lot sebagai yoni atau simbol predana.
Sedangkan Pura Luhur Batukaru merupakan lingga simbol purusa.  Perpaduan 2 keadaan
alam ini menjadi sumber kehidupan yang mensejahterakan umat manusia.  Angin yang
berembus dari gunung yang rimbun dengan pepohonan dan juga yang berembus dari laut
adalah angin yang sangat sehat dan segar untuk dihirup makhluk hidup.  Hijaunya
pepohonan dan birunya air samudera dapat menyerap dan membersihkan partikel-partikel
kimia yang mengotori udara.
Mengenai hubungan atara Pura Tanah Lot dan Pura Luhur Batukaru ada cerita rakyat
yang unik.  Konon meru tumpang 5 di Pura Luhur Batukaru hilang secara misterius.
Dari alam niskala ada pawisik (suara gaib) bahwa meru itu berdiri kokoh di Pura
Tanah Lot.  Sejumlah umat penyusung di PUra Luhur Batukaru mencarinya dengan
berpakaian adat Bali yang sederhana.  Meru yang hilang itu akhirnya memang dijumpai
di Pura Tanah Lot.  Entah apa sebabnya ikat pinggang yang disebut selempot atau
ambed dari pakaian adat umat yang mencari meru tersebut semuanya jatuh dihalaman
dan sekitar Pura Tanah Lot.  Selempot-selempot itulah yang konon menjadi ular-ular
jinak yang hidup disekitar Pura Tanah Lot sekarang (versi lain mengatakan,ular
itu adalah perubahan ikat pinggang Danghyang Nirartha)
Makna yang patut kita simak dari keberadaan Pura Tanah Lot itu adalah cerita
hubungan yang harmoni antara umat dengan panditanya dalam menata kehidupan.
Demikian juga dapat dikembangkan wawsan tentang hubungan antara laut dan gunung
sebagai alam ciptaan Tuhan yang memberikan kita kemurahan sumber kehidupan yang
patut kita syukuri.

Keris Ki Baru Gajah
Berdasarkan Lontar Kundalini Tatwa, pada saat kedatangan Danghyang Dwijendra yang
bergelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh kepulau kecil Let (Tanah Lot) para nelayan
berduyun-duyun menghadap.  Saat itu beliau yang lengkap dengan keris bawaannya
menyatakan keesokan harinya akan memedek ke Pura Pekendungan.
Keesokan paginya, datanglah Danghyang Nirartha ke Pur Pekendungan. Ki Bendesa
Braban lalu menghadap sang pandita dipura tersebut.  Saat itu Ki Bendesa menceritakan
bahwa desa pakramannya diganggu oleh Ki Bhuta Babahung yang berasal dari Bali
Utama.  Banyak penduduk yang menjadi korban.  Selanjutnya Ki Bendesa memohon
kepada Pedanda Sakti Wawu Rawuh agar membantu menghadapi kesulitan yang dialaminya.
Mendengar permohonan itu, sang Pandita memberikan keris yang bernama Ki Baru
Gajah miliknya untuk mengalahkan Ki Bhuta Babahung.  Selain itu juga Danghyang
Dwijendra menitahkan agar keris tersebut diaturkan sesaji dipura tersebut, sebab
dapat pula dipakai sebagai penolak hama segala tanaman petani.
Dalam lontar itu dituturkan, keesokan harinya dengan keris tersebut Ki Bendesa dapat
mengalahkan Ki Bhuta Babahung dan Desa Pakraman Braban kembali tentram dan
makmur.  Hingga saat ini keris tersebut distanakan di Puri Kediri.  Setiap hari
Sabtu Kliwon Kuningan saat piodalan di Pura Luhur Pekendungan, keris tersebut
diaturkan upacara dan di-pendak menuju ke pura itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar